Pangkal Pinang, Destinasi Liburan Asyik



Pangkal Pinang, Destinasi Liburan Asyik
The image is Pixabay property

Bagaimana jika liburan kali ini pergi mengunjungi pulau Bangka? Ada banyak destinasi menarik di Pangkal Pinang dan daerah sekitarnya, dari wisata alam, wisata sejarah, dan tentunya berburu kuliner lokal. Pengalaman menuju pulau Bangka cukup berkesan. Selang beberapa bulan pasca ke Belitung, saya mendapat kesempatan ke Pangkal Pinang. Apalagi mendengar pulau Bangka juga memiliki pantai-pantai menawan yang tak kalah dengan Belitung.

Hari masih pagi ketika tiba di bandara Depati Amir. Bandaranya tidak terlalu luas tapi nampak rapi dan asri. Tak berlama-lama di rumah, saya dan teman-teman kemudian telah berkeliling kota Pangkal Pinang. Dari bandara ke pusat kota tidak terlalu jauh. Jalanannya mulus dan di berbagai sudut nampak rindang. Sebelum menuju ke Pangkal Pinang, saya membaca-baca sedikit informasi tentang daerah ini. Dulunya daerah ini masuk Sumatera Selatan, baru kemudian memisah menjadi provinsi Bangka Belitung dengan ibu kotanya Pangkal Pinang.

Cuaca yang cerah membuat saya bersemangat. Ada berbagai wisata alam yang bisa dijelajah di sini, terutama adalah wisata pantai. Dari hasil mengobrol dengan pengemudi yang merupakan asli warga Bangka, saya mendapatkan informasi tentang pantai-pantai yang masih alami dan indah juga tak tercemari oleh penambangan timah.

Tak jauh dari pusat kota Pangkal Pinang, ada Pantai Pasir Padi. Dinamakan Pasir Padi karena pasirnya serupa dengan bulir padi. Kami terpaksa lewatkan ke Pantai Pasir Padi karena tuan rumah mengajak kami ke pantai-pantai di daerah Sungai Liat. Di Sungai Liat, sekitar 40 kilometer dari Pangkal Pinang terdapat Pantai Tikus dengan ciri khas klenteng, Pantai Tanjung Pesona yang memiliki beragam wahana permainan, Pantai Matras dengan sungainya, dan Pantai Parai Tengiri yang indah dengan batu granitnya, juga Tanjung Kalian dengan mercusuarnya.

Akhirnya kami putuskan menuju Tanjung Kalian yang lokasinya tak jauh dengan Pelabuhan Kalian. Hawa cukup terik karena sudah siang hari. Di Tanjung Kalian, ikon utamanya adalah bangunan mercusuar. Melihat mercusuar ini memang benak langsung membandingkan dengan mercusuar yang ada di pulau Belitung. Sama-sama berwarna putih dan menjulang, serta dibangun pada masa penjajahan Belanda. Mercusuar ini dibangun pada tahun 1862 dengan tinggi 65 meter.

Di pantai yang berpasir putih ini selain terdapat mercusuar juga terdapat bangkai kapal. Rupanya disini sempat terjadi pembunuhan masal serdadu Australia yang luka dan perawat oleh serdadu Jepang ketika kapal mereka hendak merapat. Peristiwa tersebut terjadi pada 1942 dan di pantai ini terdapat tugu memorial.

Sorenya, setelah berembug dengan kawan-kawan, akhirnya kami memutuskan menginap di Parai Resort. Lokasi pantai Parai Tengiri sekitar 40 kilometer dari Pangkal Pinang menuju Sungai Liat. Melihat pantai Parai Tengiri rasanya benar-benar seperti liburan. Garis pantainya cukup panjang, pasirnya lembut, dan terdapat bebatuan granit raksasa di sana sini mempercantik suasana. Indah.

Sore hari saya habiskan dengan berjalan-jalan di pantai, menikmati hawa laut yang segar. Rasanya tak bosan-bosan memandang ombak yang berdesir serta melihat tingkah polah anak-anak yang asyik berenang. Baru ketika langit benar-benar gelap saya beranjak. Dan keesokan harinya selepas Subuh saya sudah siap berburu matahari.

Sunyi di pantai, hanya terdengar simponi alam berupa debur ombak dan kicauan burung. Suasana ini benar-benar menentramkan. Rasanya enggan beranjak dari pantai Parai jika tak mengingat ada beragam tugas yang harus saya selesaikan selama di Bangka.

Hari terakhir di Bangka, kami isi dengan mengunjungi rumah pengasingan bung Karno. Para tuan rumah kami ‘memaksa’ kami untuk menuju ke sini untuk mengetahui ada sesuatu yang berbeda di Bangka. ‘Paksaan’ ini saya syukuri, di rumah ini ada berbagai hal yang menambah wawasan sejarah. Rupanya ada dua tempat pengasingan bung Karno, yaitu di Pesanggrahan Menumbing dan Wisma Ranggam yang sama-sama berlokasi di Muntok. Kami berkunjung ke Wisma Ranggam dimana di halaman kami disambut oleh tugu berwarna putih yang gagah menjulang.

Di Wisma Ranggam atau Pesanggrahan Muntok ada beberapa tokoh nasional yang diasingkan, yaitu KH. Agus Salim, Mohammad Roem, dan Ali Sastroamidjojo. Di bangunan Belanda yang didirikan tahun 1827 ini para tokoh nasional diasingkan sekitar tahun 1948-1949. Hal ini memiliki kesinambungan sejarah dengan Museum Timah dimana di Museum Timah menjadi tempat dilangsungkan perjanjian Roem-Royen.

Dari segi budaya, Pangkal Pinang juga rupa-rupa. Ada nuansa kultur Tionghoa di sini karena bangsa Tionghoa sudah melakukan hubungan perdagangan dengan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu sejak lama. Saat kami bertolak dari Muntok ke Pangkal Pinang, saya melihat ada banyak bangunan terasimilasi dengan budaya Tionghoa. Ada kuil yang terkenal yaitu Kuil Kwan Tie Maw di Kampung China. Tapi kami tidak sempat singgah hanya melintas di depannya. Acara tradisi masyarakat Tionghoa yang paling terkenal dan meriah adalah Ceng Beng atau Qing Ming. Puncak Ceng Beng yaitu pada setiap 4 April, dimana mereka melakukan ziarah ke makam leluhur dengan membawa beragam sesajian.

Dan ke Pangkal Pinang rasanya tak lengkap jika tak berkenalan dengan usaha tambang yang paling terkenal di sini, yaitu usaha timah. Saya beruntung mendapat kesempatan melihat-liat kantor pusat dan pusat pengolahan timah di Muntok, lantas dipungkasi menuju Museum Timah.

Timah dan Bangka Belitung seolah merupakan satu kesatuan. Konon nama Bangka berasal dari Wangka yang berarti timah. Bahan mineral ini ditemukan di Muntok pada tahun 1710 dan sampai saat ini pabrik pengolahan timah ini masih eksis. Kawasannya begitu luas, ada perumahan bagi pekerja. Dan saat sirine istirahat makan siang berdering keras seluruh area pabrik pun ditutup. Para karyawan umumnya pulang ke rumah untuk bersantap siang dan beristirahat sejenak sebelum kemudian kembali untuk melanjutkan pekerjaan. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan pabrik, saya terkejut ketika mendengar sirine dan kemudian pekerja yang beramai-ramai meninggalkan tempat. Saya kira ada kebakaran.

Jaman dulu penambangan timah kerap dituding perusak alam. Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kelestarian alam maka penambangan pun dijaga agar berwawasan lingkungan, meski terkadang tetap ada penambangan liar sehingga berisiko mengkontaminasi perairan.

Museum Timah yang berlokasi di jalan Ahmad Yani 179, Pangkal Pinang ini, mungkin satu-satunya museum timah di Indonesia. Dulunya bangunan ini seperti saya sebutkan di atas, pernah digunakan sebagai meja perundingan yaitu perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Hasil perjanjian bersejarah tersebut masih tersimpan rapi di museum tersebut.

Di museum ini dijelaskan sejarah penambangan timah di Indonesia. Bagaimana mereka menambangnya dari alam, mengolahnya secara tradisional atau dengan mesin. Pada museum yang didirikan tahun 1958 ini juga terdapat berbagai benda kerajinan dari timah yang disebut sentra kerajinan timah atau pangkal pewter. Kerajinan timah agak seperti perak tapi lebih padat, sebagai pencampurnya ada tembaga 2% dan antimoni untuk kualitas pertama.

Di film Dracula, peluru timah itu penting untuk menghentikan aksi Dracula, tapi saya membeli suvenir timah bukan karena takut pada vampire, saya membeli gantungan kunci dan tempelan kulkas dari timah sebagai penanda perjalanan saya ke Bangka. Gara-gara bingung memilih suvenir, sampai lupa foto-foto di museumnya.

Kuliner Bangka

Tak lengkap jika ke Bangka tanpa mencicipi kulinernya. Ada mie Bangka atau mie Koba yang memiliki kuah berupa kaldu ikan yang pekat dan nikmat, martabak manis dan pukis Bangka, juga aneka masakan Sumatera seperti pindang patin, pindang iga, rusip, lempah kuning, lempah darat yang berisi sayuran, otak-otak, aneka pempek, es kacang merah, dan beragam masakan lainnya.

Saya pertama kali menyantap pindang di sini dan menyukai kuahnya yang gurih, pedas, dan hangat di tenggorokan. Pindang patin dan pindang iga sama-sama enaknya. Lempah kuning pernah saya nikmati sebelumnya di Belitung dan memang masakan ini nikmat dengan kuah asam manis yang segar dari tambahan nanas.

Atas bujukan pengemudi, saya pun mencicipi rusip dan terkejut atas rasanya. Saya terheran-heran melihat ia begitu lahap dan cepat menghabiskan rusip. Rupanya masakan yang memiliki rasa gurih, asam, dan sedikit pedas ini jenis makanan fermentasi dengan bahan ikan teri atau bilis. Warga asli Bangka menggemarinya untuk teman lalapan atau kawan menyantap nasi.

Untuk buah tangan, jangan kuatir Bangka memiliki beragam makanan yang bisa dijadikan oleh-oleh atau disantap sendiri. Ada beragam kemplang dari kemplang goreng, kemplang panggang, kemplang goreng udang, dan kemplang kulit tengiri, getas, rusip Bangka, sarang walet, terasi panggang, kritcu Bangka, dan asinan kelubi. Kemplang banyak ditemui di Palembang sehingga di antara oleh-oleh tersebut, kricu dan asinan kelubi yang paling menarik perhatian.

Penjual menjelaskan kricu itu semacam jajanan yang terbuat dari telur, garam, sagu, dan telur cumi. Rasanya gurih dan memang enak buat camilan. Yang membuat mata terbelalak itu asinan kelubi. Saya penasaran dan mencoba menyantapnya. Rasanya asam banget, mata pun langsung melek. Asinan ini terbuat dari buah liar bernama kelubi. Rasanya agak mirip-mirip dengan manisan salak tapi yang ini berlipat asamnya.


Penulis: Dewi Puspasari
Lihat artikel menarik lainnya dalam https://dewipuspasari.wordpress.com


No comments:

Post a Comment