Pulau Selayar, Pulau Lain Para Dewata



Pulau Selayar, Pulau Lain Para Dewata
The image is Pixabay property

Jika Bali adalah Pulau Dewata, maka Selayar mungkin pulau lainnya para dewa di Sulawesi. Begitu banyak keindahan di kabupaten paling selatan ini, baik yang sudah mendunia maupun yang belum terjamah media. Sampai-sampai walaupun sudah bertahun-tahun ke Selayar, daftar objek wisata yang belum saya datangi masih panjang. Kali ini saya akan bercerita tentang petualangan sehari mengunjungi objek wisata laut. Sengaja berangkatnya dini hari, untuk menghindari kulit gosong terpapar matahari siang.

Hutan Mangrove Matalalang

Kami mengunjungi tempat ini pertama kali karena lokasinya sangat dekat dari kota Benteng, hanya sekitar 3 km saja ke arah selatan. Beruntungnya kami tiba saat jalanan untuk pengunjung sudah dibangun. Kayu-kayu yang terpasang tampak masih baru, memanjang menjorok sampai ke laut. Sayang, kualitas kayu yang digunakan tidak begitu bagus. Mudah-mudahan tahun depan jika kesini lagi, semuanya masih utuh. Pagi-pagi menikmati pemandangan hijau, hati jadi tenang. Apalagi tidak ada orang selain kami. Melangkah beberapa meter ke depan makin tersirap dengan keindahannya.  

Air laut di Matalalang sangat jernih, tenang tidak beriak. Anda bisa melihat bayangan sendiri terpantul utuh. Air laut yang diterpa sinar matahari pagi, permukaannya tampak berkilau indah. Beberapa hari yang lalu, saya sempat melihat penampakan hutan mangrove ini dari kejauhan. Dilihat dari laut, hutan ini cukup panjang dan rimbun, sayang tidak sempat ambil gambarnya.

Tanjung Batu Karapu

Setelah puas menikmati pemandangan laut dan hutan bakau di Matalalang, Kami beranjak ke sebuah tempat yang menurutnya “gammara”. Sedikit-sedikit saya mulai paham Bahasa Selayar, gammara berarti bagus atau indah. Bahasa Selayar sangat jauh berbeda dengan Bahasa Bugis, pengucapannya lebih mendekati Bahasa Makassar. Mungkin karena hidup di daerah pantai, suara orang Selayar juga lumayan keras, dan sering kebawa-bawa walaupun mereka memakai Bahasa Indonesia.

Untuk menuju ke Tanjung Batu Karapu, kami harus melewati jalan yang agak menantang. Kami harus bertanya ke penduduk setempat, belokan mana tepatnya kami harus menuju. Jadi di artikel ini saya tidak bisa menjelaskan detail alamatnya, karena penunjuk jalannya saja masih bingung.

Setelah mengikuti rute sesuai petunjuk, jalanan yang dilewati mulai sempit di areal perkebunan pohon kelapa. Tidak lama kemudian jalanan menanjak, menurun, menanjak lagi di areal hutan yang sepertinya baru saja dibabat dan dijadikan jalan. Babatan cukup luas, pemerintah Selayar sepertinya menaruh perhatian besar pada objek wisata ini. Walaupun masih dalam proses pengerjaan, jelas jalan yang dibuat direncanakan cukup lebar, keadaan tersebut sama sampai kami tiba di tempat tujuan.

Tibalah di persimpangan, kami tidak menemukan seseorang pun untuk ditanyai. Kanan atau kiri? Akhirnya kami belok ke kanan dulu. Tak lama kemudian kami menjumpai hutan yang berada diketinggian, beberapa tanaman khas hutan seperti kemuning tumbuh liar di sini. Tanaman yang bunganya berbau harum ini ternyata berakar sangat kuat, tiba-tiba saya menyesal tidak bawa linggis, gagal lah kami mengadopsi kemuning untuk dijadikan bonsai di rumah.

Pemandangan disini lebih indah. Memang benar indah tapi serem. Tingginya mungkin 40 meter dari atas air laut, tidak ada pagar pelindung. Tanahnya berkerikil, benar-benar rawan tergelincir.  Kami memutuskan cepat-cepat beranjak, ini bukan tujuan utama kami, tapi di bawah, yaitu tanjung yang kami lihat dari ketinggian ini. Jadi perjalanan dilanjutkan menuju persimpangan tadi, kali ini kami ke kiri. Beberapa menit kemudian, kami sampai. Tempat ini gammara. Waktu kami tiba, suasana tanjung masih sepi, pengunjung ada tapi sudah siap pulang. Kami seperti berada di pulau pribadi.

Pantai disini benar-benar bersih, dibandingkan pantai-pantai sebelumnya yang saya pernah kunjungi. Saat hampir tiba, kami disuguhi pemandangan rimbunnya hutan, lanjut turun ke bawah dapat pasir lembut yang putih, lalu memandang ke depan, ada birunya laut yang jernih, terus mendongak ke atas, ada tebing tinggi menjulang yang eksotik. Tidak cukup sampai di situ, melayangkan pandang jauh ke kanan, ada tebing bercincin yang menjorok kelaut. Yang terakhir yang disebut itulah yang jadi latar aksi foto selfie yang ramai di linimasa.

Tadinya saya pikir akan sulit menginjakkan kaki di sana, karena mengira harus melewati air yang tingginya sampai dada. Rupanya salah, cukup buka sandal, gulung celana sampai sebetis, anda bisa berada di balik karang itu. Kami melewati lobang serupa cincin itu dan menemukan ada lagi cincin serupa menanti. 

Batu Karapu memiliki cerita mitos yang tidak dapat dipastikan benar tidaknya. Jaman dahulu, seekor ikan kerapu yang berukuran sangat besar terdampar di tanjung ini. Lama dia berusaha meloloskan diri tapi tidak bisa juga kembali ke tengah laut. Jadi untuk bertahan hidup, ikan ini menyantap apa saja makhluk hidup yang lewat di dekatnya, termasuk manusia. Seiring waktu si ikan kerapu akhirnya mati dan berubah menjadi batu. Demikianlah asal mula nama Tanjung Batu Karapu. Kabarnya lagi, Tanjung Batu Karapu di jaman dulu adalah tempat yang angker, kapal banyak yang karam terhempas di tebing. Memang jika musim barat, air laut lebih ganas.

Begitulah cerita petualangan saya menyambangi kedua tempat yang saya ceritakan di atas sebenarnya hanya memakan waktu setengah hari, tapi di pertengahan jalan pulang, kami terjebak hujan sehingga tiba di rumah menjelang sore.


Penulis: Nur Islah
Lihat artikel menarik lainnya dalam http://www.nurislah.com


No comments:

Post a Comment