Akibat Pernikahan Dini Dan Realitanya



Akibat Pernikahan Dini Dan Realitanya
The image is Pixabay property

Menikah tidak sekedar hal yang indah. Ada banyak aneka rasa dibaliknya, dari yang manis sampai pahit. Dari yang asin sampai kecut. Apalagi menikah itu menyatukan dua insan yang tak hanya berbeda jenis, tapi juga dari karakter sampai pemikiran akan ada banyak perbedaan. Dalam berumah tangga, hal sepele akan menjadi masalah bertele-tele jika kedua belah pihak menyikapinya dengan egois versus egois. Sesungguhnya saat menapak menuju gerbang bernama rumah tangga, tingkat emosional kita meningkat dua kali lipat saat masih single dulu. Gampangnya saja begini, jika semasa lajang dulu, tingkat kebaperan kita kadarnya hanya 10%, maka setelah berumah tangga akan naik melebihi kadar itu.

Ini wajar karena saat menikah, kita akan merasa bahwa pasangan kita ibarat bagian tubuh yang sudah menyatu dengan kita, tapi tetap dengan dua kepala dan hati yang isinya beda. Jadi saat ada selisih paham, ada kemungkinan akan saling ngotot dengan pendapatnya sendiri. Jika hati disakiti, rasanya akan jauh lebih sakit ketimbang disakiti orang lain. Ini jelas terjadi jika pasangan gagal memahami dan mengerti bagaimana pasangan kita.

Maka dari itulah, menikah itu bukan soal berani atau tidak, tapi butuh kesiapan (kemampuan). Lalu apa saja kesiapan itu?

1. Kesiapan mental

Berani nikah, belum tentu siap mental. Dengan kesiapan mental ini, calon pasangan memang sudah memperhitungkan betul segala rintangan yang menghadang. Sehingga jika diuji dengan masalah besar, mentalnya akan kuat menghadapinya. Ia akan berusaha memecahkan masalahnya bersama, dengan tidak lari menjadi pecundang.

Meski berani nikah, tapi tidak siap mental, saat diuji dengan masalah besar bisa saja ia pasrah saat bahtera rumah tangganya tenggelam atau menjadi seorang pengecut dengan meninggalkan pasangannya dengan berenang sendiri. Maka, berani nikah harus dibekali siap mental juga. Apalagi jika tak berapa lama kemudian istri hamil. Jika tak siap mental, akibatnya bisa fatal karena suami tidak siap mental menghadapi kondisi psikis istrinya yang labil.

2. Kesiapan emosional

Tak selamanya pernikahan itu seperti pengantin baru. Dari romantis, bisa saja lambat laun akan terasa teriris-iris jika kita terlalu terbawa perasaan dalam menyikapi perbedaan karakter dari pasangan kita. Apalagi jika istri mengalami fase hamil, melahirkan, menyusui dan mengurus anak.

Saat seperti ini, istri akan lebih emosional dari sebelumnya karena hormon yang tidak seimbang. Mungkin dia akan lebih cengeng, tersinggung. Sering menangis. Jengkel saat suaminya justru tidak peka dengan perasaannya, padahal dia sendiri cenderung menyembunyikan perasaannya. Suami bisa saja jengkel dengan kondisi istrinya yang berubah seperti ini. Jika ia tidak siap secara emosional, kontrol emosinya akan lemah. Akibatnya? Marah-marah, membentak bahkan pengeluaran kata-kata kasar.

3. Kesiapan akan tanggung jawab

Menikah memang tidak perlu harus mapan dulu. Bahkan yang masih pengangguran pun boleh menikah juga. Tapi syaratnya dia harus siap dengan tanggung jawab untuk menafkahi baik lahir maupun batin ketika menikah nanti. Kalau dia masih kuliah? Dapat 'beasiswa' dari orangtua? Tidak masalah selama dia memang sudah siap dan tanggung jawab menafkahi istri semampunya. Kalau dia masih kuliah, belum bekerja, sementara istrinya diberi sebagian uang saku dari orangtua juga tidak apa-apa. Jika istrinya ridho. Karena kesepakatan awal, uang kuliah istri dibiayai ortunya sendiri juga tidak masalah. Tapi andaikan dia berusaha mencari nafkah sendiri disamping kuliah, tentu lebih bagus.

4. Kesiapan ilmu

Tanpa bekal ilmu, bahtera rumah tangga akan berlayar tanpa arah. Bisa-bisa salah jalan. Maka, penting sekali membekali diri dengan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu duniawi seperti kesehatan, gizi, psikologi dsb. Maka kalau sudah berani menikah, bekal ilmu harus sudah siap.

5. Kesiapan jodoh

Ini adalah kunci terakhir. Mental dan emosional sudah siap. Siap menafkahi, dan bekal ilmu juga sudah banyak. Tapi masalahnya jodohnya belum ketemu. Mungkin ingin bisa nikah muda. Lulus SMA langsung nikah. Atau nikah sambil kuliah. Tapi ya itu tadi kendalanya: jodohnya belum ada. Maka, untuk mewujudkannya perlu ikhtiyar untuk mencari jodoh. Jika ikhtiyar sudah dilakukan, kita berdoa kepada Tuhan, memohon dipilihkan yang terbaik. Lalu kita pasrahkan kepada Tuhan dan kapan kita bertemu  dengan jodoh kita.

Jodoh itu bukan soal lebih cepat atau lambat. Bukan karena masih 17 tahun atau sudah 27 tahun. Tuhan menjodohkan hamba-Nya dengan sangat pas di waktu yang tepat. Mungkin bisa besok, lusa, bulan depan, tahun depan atau entah kapan. 

Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda.


Penulis: Isnaini S Ibiz
Lihat artikel menarik lainnya dalam https://isnaini-ibiz.blogspot.co.id


No comments:

Post a Comment